Soedirman tidak diberitahu bahwa Cokrosunaryo bukanlah ayah kandungnya sampai ia berusia 18 tahun. Setelah Cokrosunaryo pensiun sebagai camat pada akhir 1916, Soedirman ikut dengan keluarganya ke Manggisan, Cilacap. Di tempat inilah ia tumbuh besar. Di Cilacap, Karsid dan Siyem memiliki seorang putra lain bernama Muhammad Samingan. Karsid meninggal dunia saat Soedirman berusia enam tahun, dan Siyem menitipkan kedua putranya pada saudara iparnya dan kembali ke kampung halamannya di Parakan Onje, Ajibarang.
Soedirman dibesarkan dengan cerita-cerita kepahlawanan, juga
diajarkan etika dan tata krama priyayi, serta etos kerja dan kesederhanaan wong
cilik, atau rakyat jelata. Untuk pendidikan agama, ia dan adiknya mempelajari
Islam di bawah bimbingan Kyai Haji Qahar. Soedirman adalah anak yang taat agama
dan selalu shalat tepat waktu. Ia dipercaya untuk mengumandangkan adzan dan
iqamat. Saat berusia tujuh tahun, Soedirman terdaftar di sekolah pribumi
(hollandsch inlandsche school). Meskipun hidup berkecukupan, keluarga Soedirman
bukanlah keluarga kaya. Selama menjabat sebagai camat, Cokrosunaryo tidak
mengumpulkan banyak kekayaan, dan di Cilacap ia bekerja sebagai penyalur mesin
jahit
Pada tahun kelimanya bersekolah, Soedirman diminta untuk
berhenti sekolah sehubungan dengan ejekan yang diterimanya di sekolah milik
pemerintah, permintaan ini awalnya ditolak, namun Soedirman dipindahkan ke
sekolah menengah milik Taman Siswa pada tahun ketujuh sekolah. Pada tahun
kedelapan, Soedirman pindah ke Sekolah Menengah Wirotomo setelah sekolah Taman
Siswa ditutup oleh Ordonansi Sekolah Liar karena diketahui tidak terdaftar.
Kebanyakan guru Soedirman di Wirotomo adalah nasionalis Indonesia, yang turut
mempengaruhi pandangannya terhadap penjajah Belanda. Soedirman belajar dengan
tekun di sekolah, gurunya Suwarjo Tirtosupono menyatakan bahwa Soedirman sudah
mempelajari pelajaran tingkat dua di saat kelas masih mempelajari pelajaran
tingkat satu. Meskipun lemah dalam pelajaran kaligrafi Jawa, Soedirman sangat
pintar dalam pelajaran matematika, ilmu alam, dan menulis, baik bahasa Belanda
maupun Indonesia. Soedirman juga menjadi semakin taat agama di bawah bimbingan
gurunya, Raden Muhammad Kholil. Teman-teman sekelasnya memanggilnya
"haji" karena ketaatannya dalam beribadah, dan Soedirman juga
memberikan ceramah agama kepada siswa lain. Selain belajar dan beribadah,
Soedirman juga berpartisipasi dalam kelompok musik sekolah dan bergabung dengan
tim sepak bola sebagai bek. Kematian Cokrosunaryo pada tahun 1934 menyebabkan
keluarganya jatuh miskin, namun ia tetap diizinkan untuk melanjutkan sekolahnya
tanpa membayar sampai ia lulus pada akhir tahun. Setelah kepergian ayah
tirinya, Soedirman mencurahkan lebih banyak waktunya untuk mempelajari Sunnah
dan doa. Pada usia 19 tahun, Soedirman menjadi guru praktik di Wirotomo.
Saat bersekolah di Wirotomo, Soedirman adalah anggota
Perkumpulan Siswa Wirotomo, klub drama, dan kelompok musik. Ia membantu
mendirikan cabang Hizboel Wathan, sebuah organisasi Kepanduan Putra milik
Muhammadiyah. Soedirman menjadi pemimpin Hizboel Wathan cabang Cilacap setelah lulus
dari Wirotomo;tugasnya adalah menentukan dan merencanakan kegiatan kelompoknya.
Soedirman menekankan perlunya pendidikan agama, bersikeras bahwa kontingen dari
Cilacap harus menghadiri konferensi Muhammadiyah di seluruh Jawa.Ia mengajari
para anggota muda Hizboel Wathan tentang sejarah Islam dan pentingnya
moralitas, sedangkan pada anggota yang lebih tua ia berlakukan disiplin
militer.
Sumber Wikipedia